Onghokham dan Sejarah Indonesia


Onghokham adalah sejarawan dan sekaligus cendikiawan. Sebagai sejarawan, ia piawai menjadi ‘saksi langsung’ dan tahu ‘tentang apa yang terjadi’ terhadap peristiwa yang menjadi perhatiannya. Sebagai cendikiawan, ia peka terhadap denyut kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat sekitarnya. Kombinasi keduanya menjadikan karya dan pemikiran Onghokham unik dan inspiratif. Uraiannya mengenai peran dan sosok jago dalam sejarah Indonesia periode kolonial memberikan pemahaman kongkrit tentang bagaimana sifat dan bentuk kekuasaan politik di Indonesia, paling tidak sepanjang periode kekuasaan otoriter Orde Baru. Begitu juga ulasannya mengenai tuyul yang mencerminkan kesarjanaan dan kecendikiawanan Onghokham dalam mengangkat psikologi populer rakyat petani di pedesaan Jawa dalam menghadapi krisis dan eksploitasi.

Pada akhir dekade 1960an dan awal 1970an, semangat jaman dunia banyak dipengaruhi sentimen anti-perang Vietnam. Kalangan intelektualnya terpana untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan tentara-petani Vietnam melawan kekuatan perang modern Amerika Serikat. Karya-karya penting mengenai tema petani dan perubahan sosial dan pendekatan ‘sejarah dari bawah’ menjadi arus pemikiran populer di kalangan ilmuwan sosial di dunia saat itu. Onghokham menjadi bagian semangat jaman ini. Disertasi doktoral yang dipertahankannya di Yale University (Onghokham: 1975) berbicara tentang perubahan sosial di Madiun pada abad 19 dan 20 yang menyoroti dinamika hubungan antara petani dan pryayi Jawa dibawah kekuasaan kolonialisme Belanda.

Dalam salah satu bagian bab disertasi doktoralnya, Onghokham menggambarkan sebuah pertentangan menarik antara para bupati Jawa yang semakin merosot kekuasaan politik mereka dengan para pejabat Belanda. Bagian ini kemudian ditulis menjadi sebuah artikel panjang yang menjadi masterpiece pemikiran Onghokham mengenai sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia: The Inscrutable and the Paranoids: An Investigation into the sources of the Brotodiningrat Affair [Onghokham: 1978]. Kisah Brotodiningrat menggambarkan secara rinci upaya sia-sia pemimpin tradisional Jawa—golongan pryayi—untuk kembali menghidupkan kekuasaan tradisional mereka berhadapan dengan mesin birokrasi kolonial yang semakin canggih.

Kritisisme, komitmen dan kepekaan sosial-politik adalah jantung pemikiran yang melatarbelakangi karya-karya tulis Onghokham. Termasuk juga perhatiannya terhadap peran kaum intelektual dan hubungannya dengan perubahan sosial dan politik. Dalam karya berjudul Runtuhnya Hindia Belanda, yang mencakup periode antara 1930an dan 1940an, Onghokham menggambarkan ‘kekosongan’ dinamika pergerakan anti-kolonial di Indonesia saat itu. Faktor yang ditekankannya adalah Indonesia telah kehilangan tokoh-tokoh intelektual yang menginspirasikan gerakan anti-kolonial sebelumnya dengan pembuangan tokoh-tokoh seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan termasuk hilangnya tokoh-tokoh pergerakan kiri yang telah dihancurkan oleh penguasa kolonial setelah pemberontakan komunis yang gagal pada tahun 1926. Terputusnya hubungan antara intelektual dan massa telah menjadikan periode tersebut sebagai periode yang paling tidak menarik dari segi kedalaman bentuk pergerakan dan kekayaan intelektual yang mengisi dinamiknya.


***

Diluar kesarjanaan dan kecendikiawanannya, Onghokham adalah pribadi yang menarik. Dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1933 di Surabaya, Onghokham tumbuh besar dalam lingkungan elite kelas menengah perkotaan yang dekat dengan segala sesuatu yang berbau barat (baca: Belanda) dan gagasan-gagasan liberal. Onghokham mengenyam pendidikan menengah di Surabaya, Hogere Burger School (HBS), yang mayoritas murid berkebangsaan Eropa. Dalam periode ini ketertarikannya terhadap sejarah muncul, melalui pembacaan terhadap kisah ratu Prancis Marie Antoniette yang mati di-goulletine dalam peristiwa revolusi Prancis (1789-1792). Dalam kaitan ini, pengetahuan mengenai dunia barat mungkin lebih baik dibanding lingkungan sekitarnya dalam pikiran Onghokham muda.

Revolusi Indonesia dan pendudukan Jepang memberikan orientasi baru dalam pikirannya mengenai ‘Indonesia’. Dalam perjalanan pengungsian dari Surabaya menuju Malang saat Belanda jatuh dan Jepang masuk Indonesia pada bulan Maret 1942, Onghokham menyaksikan sesuatu yang lain diluar lingkungan kecil keluarga, sekolah dan teman permainan: masyarakat pribumi dari beragam latar belakang sosial yang juga turut mengungsi. Ia juga menyaksikan para pemuda berambut gondrong yang menjadi kekuatan dinamik revolusi Indonesia. Sesuatu mengenai Indonesia, yang saat itu masih bergejolak dan kumuh, hadir dalam pemikiran Onghokham. Bentuknya lebih dari sekedar kesadaran intelektual, meliputi simpati dan pemihakan terhadap orang-orang kecil yang menjadi korban dari peristiwa-peristiwa besar. Kesadaran ini konsisten dengan minat dan perhatiannya sebagai seorang akademisi ketika belajar sejarah di Fakultas Sastra UI.

Meskipun saat kuliah ia telah banyak menulis soal-soal berkait dengan kedudukan masyarakat Tionghoa di Indonesia, tetapi subyek sejarah Indonesia yang serius tertuang dalam skripsi sarjana muda yang ditulisnya mengenai saminisme yang menggambarkan resistensi sebuah kelompok petani di Indonesia menghadapi sistem kekuasaan modern. Disinilah sosok pribadi Onghokham menjadi menarik. Onghokham berhasil keluar dari dunia kecil keluarga, latar belakang ras, dan kelas sosial untuk kemudian melihat dunia Indonesia yang luas. Sebuah keberhasilan yang mungkin jarang didapat dengan mudah oleh para intelektual lainnya di Indonesia. Secara personal hal ini tergambar dari pola pergaulan dewasa Onghokham yang dengan mudah berhubungan dengan kalangan elite sosial dan politik di Indonesia, termasuk kalangan diplomat asing dan teman-teman dari manca-negara. Pada saat sama berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang kebanyakan dalam perjalanan di bis kota, saat berbelanja di pasar dan saat mengajar ilmu sejarah bagi para muridnya, dan termasuk hubungan dekat dengan para pembantunya.

***

Manusia—dan sudah barang tentu peristiwa—adalah subyek utama perhatian Onghokham, seperti pernah ia berkata: ‘Sejarah adalah mengenai orang, bukan struktur, sistem ataupun institusi.’ Nampaknya ini pula yang membentuk keluwesan cara berpikir Onghokham sebagai sejarawan dan cendikiawan. Dan ini menyebabkan ia kurang menyukai apa yang oleh ilmuwan sosial sebagai metodologie. “Pengalaman manusia begitu kaya, dan terlalu sempit untuk ditangkap oleh sebuah metodologi,” demikian keyakinan Onghokham. Sebagai cendikiawan ia telah berhasil—dari sudut pandangnya—untuk menyuarakan hal-hal penting mengenai keadilan dan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai sejarawan ia telah berhasil membuka pintu memahami Indonesia yang kaya nuansa.

Satu kekurangan adalah sebuah karya tulis lengkap yang dapat dianggap menjadi masterpiece pemikiran Onghokham. Saat ini kita baru mendapatkan penggalan gambaran itu melalui serangkaian artikel yang ditulisnya. Pikiran Onghokham mengenai sejarah Indonesia masih berserak-serak dalam satu pigura ibarat lukisan pointilism, yang mengingatkan kita pada sosok Richard Cobb, ahli sejarah Prancis berkebangsaan Inggris yang menjadi favorit Onghokham. Tidak heran bila bentuk pemikiran Onghokham bisa dibentuk oleh siapa saja yang membaca dan mengumpulkan karya tulisnya. Onghokham pada suatu saat bisa menjadi seorang pengamat masalah Tionghoa, bisa muncul sebagai orang yang piawai dalam masalah budaya politik masyarakat Jawa dan lainnya seperti muncul dalam berbagai terbitan kumpulan tulisan Onghokham di Indonesia.

Serangan stroke pada tahun 2001 mungkin juga menjadi faktor penghalang, meskipun ia tetap bersemangat menulis meskipun hanya dengan tangan kanannya. Suasana jaman juga barangkali mempengaruhi produktivitasnya menulis. Setelah reformasi politik Indonesia menjadi stabil, kuantitas tulisannya menurun dan soal-soal politik kontemporer semakin jarang muncul, terakhir tulisannya tentang ‘eksekutif yang mahal’. Mungkin ini berkait dengan sikap kecendikawanan yang merasa kehilangan tantangan setelah rejim Orde Baru tumbang. ‘Orde Baru dan sistem kekuasaannya ibarat karikatur bagi saya dalam melihat sejarah, khususnya kolonialisme Belanda di Indonesia’, seperti pernah dilontarkannya. Di sini kita menemukan komitmen dan keberpihakan sebagai cendikiawan sebagai syarat penting pemikiran Onghokham mengenai sejarah Indonesia.

Sekaligus hal itu menjadi dasar bagi keunikan sumbangan Onghokham dalam penulisan sejarah Indonesia. Onghokham tidak pernah mengikatkan diri pada rejim yang berkuasa, dan senantiasa selalu berdiri di luar kekuasaan tersebut. Dalam kaitan ini Onghokham dekat dengan denyut nadi kaum pro-demokrasi di Indonesia. Tulisan-tulisannya menampilkan “sejarah yang lain” di luar arus mainstream penulisan sejarah yang militeristik dan birokratik. Ketika banyak buku sejarah memberikan legitimasi pada kekuasaan otoriter Orde Baru, atau paling tidak melarikan diri atas kontrol kekuasaan itu, Onghokham menyuarakan “sesuatu yang lain” sebagai oposisi terhadap kekuasaan rejim. Kemarahannya pada otoritarianisme dan militerisme, misalnya dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang menyorot sosok pembesar, pembentukan elit militer dan politik dalam sejarah Indonesia. Inilah sejarah yang lain yang disuarakan Onghokham dan menegaskan posisi serta sumbangannya bagi pemikiran sejarah Indonesia. Onghokham telah menjadi perwakilan intelektual—melalui pengetahuannya tentang sejarah—bagi para aktivis demokrasi di Indonesia di bawah rejim Orde Baru.

Sumbangan lain terwujud pada saat Onghokham masih kuliah dan kemudian menjadi dosen di FSUI melalui perkenalannya dengan para mahasiswa Universitas Cornell yang saat itu sedang mengkaji Indonesia, seperti almarhum Daniel Lev, Benedict Anderson dan Herbert Feith. Onghokham berperan penting menjadi pintu gerbang bagi mahasiswa-mahasiswa itu untuk mengenali Indonesia. Pandangan-pandangan Onghokham yang kritis dan tajam mengenai situasi Indonesia adalah pintu terbaik bagi orang-orang di luar Indonesia mengerti denyut dan hiruk-pikuk politik Indonesia yang saat itu sedang dilanda arus pertentangan ideologi tajam di bawah perang dingin, dan terus membentuk sesuatu bernama Indonesia. Dan sampai saat ini, melalui tulisan-tulisannya, Onghokham terus menjadi pintu gerbang yang menarik bagi siapapun untuk mengenal Indonesia.

Dalam tahun-tahun terakhir Onghokham masih memiliki obsesi: menterjemahkan karya-karya Ferdinand Braudel tentang peradaban dunia memasuki abad kapitalisme ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin ini adalah sub-kesadaran dalam diri Onghokham untuk membangun sebuah bentuk pemikiran yang bulat dan utuh sebagai sejarawan. Dalam sebuah percakapan, Onghokham telah melontarkan sebuah pertanyaan yang harapannya akan menjadi sebuah karya pemikiran lengkap: Apa yang menjadikan masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) selama berabad-abad tetap survive? Ia mengajukan dugaan bahwa pemilikan atas tanah adalah dasar dari survival itu. Tetapi Onghokham telah meninggalkan kita semua pada sore hari tanggal 30 Agustus dalam usia 74 tahun. Pemikirannya belum lengkap dan masih harus dikerjakan oleh para sejarawan dan cendikiawan lainnya di Indonesia. Selamat jalan Onghokham.